Dok. Pribadi |
Berita ini tentunya mengagetkan seantero kampus dan ratusan ribu mahasiswa Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta di Indonesia. Keberadaan jurnal ilmiah di Indonesia terhitung hanya sekira 2.000, sementara mahasiswa Indonesia begitu banyak. Apakah kondisi ini akan mendukung kesiapan untuk mempublikasikan hasil karya mahasiswa tersebut? Sedangkan telah kita ketahui sendiri bahwa tidak semua mahasiswa memiliki minat dalam bidang kepenulisan. Lebih pentingnya lagi, sampai saat ini masih banyak mahasiswa yang belum mengetahui gambaran dari jurnal ilmiah yang nantinya harus mereka persiapkan sebagai syarat kelulusan tersebut. Bahkan sebagian besar mahasiswa S-1 masih menganggap jurnal ilmiah sebagai hal asing yang belum banyak mereka gunakan dalam mengikuti perkuliahan.
Seperti "kebakaran jenggot", luncuran surat edaran ini langsung memancing sejumlah reaksi di kalangan akademisi. Pro dan kontra pun bermunculan. Ada yang setuju, tetapi tidak sedikit pemangku kepentingan yang menolaknya. Kekhawatiran timbul di sejumlah kalangan apabila hal tersebut benar-benar diterapkan mulai kelulusan setelah Agustus 2012. Selain infrastruktur publikasi karya ilmiah (baca: jurnal) yang masih belum merata di sejumlah perguruan tinggi terutama PT swasta dan PT 'pinggiran', pemaksaan pemberlakuaan surat edaran ini juga dikhawatirkan akan membuka celah terjadinya "booming" karya ilmiah "abal-abal" atau "sampah". Tambahan pula, bisa jadi, duplikasi karya ilmiah dan plagiasi pun akan marak terjadi. Karya ilmiah yang dipublikasikan akan cenderung "asal jadi", sekadar menggugurkan kewajiban untuk memenuhi syarat yang telah ditentukan.
Dari ranah dinamika keilmuan, kewajiban mempublikasikan karya ilmiah di sebuah jurnal sebagai syarat lulus program sarjana, magister, lebih-lebih program Doktor, sesungguhnya tidak terlalu penting untuk diperdebatkan. Sebagai ikon kemajuan peradaban yang menggembleng kandidat-kandidat intelektual, sudah seharusnya kampus menjadi ruang yang tepat dan strategis untuk menumbuhkembangkan budaya meneliti dan menulis. Berbagai temuan hasil riset bisa dijadikan sebagai "batu loncatan" untuk menggali kreativitas pemikiran civitas kampus sehingga akan muncul dinamika keilmuan yang terus tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.
Namun, melihat geliat dan dinamika kampus selama ini, selalu saja masih menumbuhkan pesimisme. Bagaimana mungkin kaum muda mahasiswa kita saat ini akan sanggup bersentuhan langsung dengan dinamika keilmuan kalau rutinitas keseharian mereka selalu dipenuhi agenda demo dan mobilitas massa, bentrokan antarkampus, atau tindakan kriminalitas lainnya? Bagaimana mungkin mahasiswa tingkat akhir sanggup menyusun karya ilmiah di sebuah jurnal kalau mereka tak pernah memiliki tradisi menulis dan meneliti untuk didiskusikan dalam forum seminar bermutu? Tambahan pula, bagaimana bisa mahasiswa mampu membuat jurnal ilmiah tanpa adanya sosialisasi dan pelatihan pembuatan dari Ditjen Dikti atau dimandatkan ke kampus-kampus? Kalaupun ada, saat ini masih terbatas di kampus-kampus "tenar" dan elit, lalu bagaimana nasib kampus-kampus "pelosok" dan kampus kecil?
Kondisi itu diperparah lagi dengan miskinnya keteladanan para dosen dalam penyusunan karya ilmiah di jurnal bergengsi? Bahkan beberapa tahun belakangan ini banyak juga dosen yang ketahuan melakukan duplikasi dan plagiasi. Selain itu, minimnya penghargaan dan honorarium yang diberikan kepada para peneliti, disadari atau tidak, telah melumpuhkan semangat meneliti di kalangan dosen itu sendiri. Mereka yang masih memiliki idealisme, lebih suka mengembangkan "naluri" keilmuannya ke luar negeri karena jaminan masa depan dan penghasilan yang jauh lebih menjanjikan. Situasi seperti itu secara berangsur-angsur membuat kampus dalam negeri mulai kehilangan banyak dosen 'hebat' dan berkelas. Imbas lebih lanjut, kampus tak ubahnya sebuah mesin penghasil sarjana yang kehilangan taji. Ribuan sarjana diproduksi setiap tahun, tetapi sumbangsihnya terhadap bangsa dan negara masih menimbulkan tanda tanya besar. Pengangguran sarjana pun merajalela dan tak terbendung.
Dalam konteks demikian, keluarnya surat edaran Dirjen Dikti tentang publikasi karya ilmiah jika dipaksakan tetap dikhawatirkan hanya akan memunculkan karya-karya ilmiah 'sampah' dan kembali maraknya plagiasi atau pembajakan karya. Alih-alih calon sarjana, calon guru besar yang seharusnya menjadi teladan dalam menghasilkan karya ilmiah bermutu pun diduga masih tergoda untuk melakukan plagiasi. Belum lagi godaan politik yang saat ini ditengarai sudah gencar menyusup di tengah-tengah kampus.
Jika situasinya demikian, haruskah surat edaran Dirjen Dikti itu masih terus dipaksakan tanpa adanya sosialisasi dan persiapan dari berbagai segi? Meski diyakini memiliki landasan filosofis yang amat rasional dalam meningkatkan gengsi dan marwah akademik di kalangan insan kampus, namun, lagi-lagi jika Ditjen Dikti masih seperti ini dalam menjalankan setiap programnya, tetap akan nihil hasilnya dan pesimisme tidak akan luntur dari benak kita.
Oleh: Ahmadun Al Rusdi
Diterbitkan oleh: Okezone.com
Open Link: http://pemilu.okezone.com/read/2012/03/05/367/587204/waspadai-karya-karya-ilmiah-sampah-dan-plagiasi